Posted in DAY6

Hello – Prolog – 03


Seoul, Korea Selatan, 08:45 PM

‘Ting ting ting ting.’

Dentingan dari tuts piano itu mengalun indah dimainkan oleh jemari ramping laki-laki berparas manis itu. Musik opera The Magic Flute dari Mozart menggema memenuhi ruangan pesta, tempat ia memanjakan ratusan pasang telinga yang teramat sangat dimanjakan malam ini. Ia tersenyum menyaksikan tamu-tamu tersebut tampak sangat menikmati permainan musiknya.

‘Ting~’

Hingga akhirnya iapun mengakhiri permainan pianonya dengan nada panjang yang indah dengan dihadiahi tepuk tangan riuh dari semua tamu. Ia semakin melebarkan senyumnya menerima semua penghargaan yang ia dapatkan. Ada rasa puas dalam dirinya saat menatap mimik kebahagiaan dari semua wajah yang ia pandang malam ini. Iapun bangkit, membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat sebagai ucapan terima kasihnya yang teramat sangat.

“Wah, bukankah dia putra Direktur?”

“Ya, permainan pianonya sangat indah.”

“Wajahnya juga sangat tampan.”

Para tamu berbisik dengan terus memberikan tepuk tangan pada ia yang terus membungkukkan tubuhnya ke segala sisi.

– isfa_id –

~ Congratulations neon cham daedanhae oh
~ Congratulations eojjeom geureohge oh
~ Amureohji anha hamyeo nal…

Laki-laki itu menghentikan nyanyiannya saat seseorang memasuki kamarnya, tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. “Ayah…” lirihnya menatap sosok yang sudah berada di hadapannya. Ia yang sebelumnya berbaring di atas spring bednya bergegas bangkit dengan melepaskan earphone dari telinganya.

Ditatapnya lelaki dewasa yang tengah mengenakan piyama berwarna navy itu yang juga tengah menatapnya intens. Meski dalam hitungan detik berikutnya ia menundukkan kepalanya saat sang ayah mengeluarkan decakkannya.

“Bila memang tak ada kegiatan sebaiknya kau tidur, ini sudah larut malam.” ujar sang ayah kepada satu-satunya putra yang ia miliki.

“Ya.” dan laki-laki itupun hanya menjawab dengan singkat titah dari sang ayah, pemilik penuh kekuasaan di rumahnya.

Lelaki dewasa bertitle ayah tersebutpun segera membalik tubuhnya setelah mendapatkan jawaban singkat itu, meski ia masih berdiri dengan menggenggam pedal pintu kamar tersebut. Ia menarik nafas perlahan dan juga menghembuskannya secara perlahan. Dan dengan pergerakkan perlahan pula ia membalik kembali tubuhnya, menatap sang putra yang masih duduk di atas spring bednya dengan lekat.

“Dan hentikan nyanyian tak bergunamu itu, fokus pada musik klasikmu.” ujarnya penuh ketegasan dan segera menutup pintu kamar tersebut tanpa mendengarkan jawaban dari sang penerima titah.

Hening itu tercipta setelah pintu itu tertutup dengan menyisakan rasa sedih yang menggelayuti benak sang eumpunya ruangan tersebut. Bagaimana tidak. Satu-satunya orang yang seumur hidupnya sangat ia hormati dan banggakan itu bahkan tak memberikan ruang untuknya berkarya.

“Bukankah seharusnya semua musik itu setara… Ayah?” ia berbisik lirih dengan tangan yang mengepal erat. Terkadang ia sangat menyesalkan, mengapa kalimat itu tak pernah dapat ia ucapkan saat sang ayah ada di hadapannya. Hingga akhirnya kini hanya air mata yang mengalir membasahi pipi mulusnya.

Iapun meraih buku musiknya yang ia simpan di atas meja nakasnya. Dibukanya perlahan lembar-lembar yang berisikan not-not balok gubahannya. Meski akhirnya ia melempar buku tersebut setelah menggulungnya dan tepat terjatuh pada tempat sampah berwarna abu-abu di sudut ruangannya.

Haruskah ia membuang cita-citanya?

Tentu saja tidak!

Karena kini ia bangkit dan kembali mengambil buku musiknya dan merapikannya kembali seperti semula.

Ia tak harus membuangnya, ia tak harus melepaskannya, cukup simpan dengan rapat, hingga hanya ia yang tahu, biar hanya ia sendiri yang mengerti.

Buku musik itu kini menempati laci kecil meja nakasnya, biarkan ia bersembunyi di sana, jangan biarkan orang lain mengetahuinya. Ini rahasianya!

Laki-laki itu kembali membaringkan tubuhnya, memejamkan mata basahnya. Akankah ia bisa? Sejujurnya ia ingin semua orang tahu, bahwa ada satu hal lagi yang dapat ia lakukan dengan baik. Bukan hanya sekedar memuaskan ambisi sang ayah akan kebanggaannya dengan musik klasik yang dinilai mahal oleh semua kalangan, tapi juga karya mudanya yang dapat menembus batas antar generasi.

Namun apa yang dapat ia lakukan? Sekarangpun hanya hembusan nafas yang terdengar putus asa yang ia dapat suguhkan.

Akankah inginnya dapat terwujud?

T.B.C

Leave a comment